Cari Blog Ini

Selasa, 24 Mei 2011

Gaya Bercakap dan Cerpen Suasana Umar Kayam - Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Gaya Bercakap dan Cerpen Suasana Umar Kayam - Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
Sebuah Analisis


1.      Pendahuluan
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, sebuah cerpen yang terpilih menjadi cerpen terbaik majalah sastra Horison tahun 1966/1967 ini ditulis oleh seorang budayawan dan sastrawan Umar Kayam. Cerpen ini mengisahkan tentang dua orang tokoh Jane dan Marno yang berlatar belakang berbeda dihadapkan pada sebuah percakapan yang menarik. Umar Kayam membangun alur dengan menggunakan teknik dialog atau percakapan. “Tidak ada unsur penceritaan yang jelas, atau konflik, membuat tema menjadi nonsense”, begitulah kiranya pendapat seorang cerpenis dalam esainya “Kembali Membaca dan Menghancurkan Kayam” yang disampaikan pada diskusi rutin di gedung PKM-UPI.
Memang, cerpen Kayam pada umumnya hanya mengantarkan pembaca pada sebuah suasana, kepada sebuah konflik tanpa harus mengakhiri konflik tersebut. Artinya pembaca dibawa pada sebuah konflik, namun konflik tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada klimaks, anti-klimaks dan resolusi atau secara mudah cerita dibuat menggantung tanpa ada maksud yang tersalin dalam cerita tersebut. Ini merupakan sebuah gaya penceritaan khas dari Kayam, dalam analogi lain Kayam tidak serta-merta membuat pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan gunung, namun Kayam mengarahkan pembaca untuk mengimajinasikan bahwa itu berupa gunung, dengan penceritaan deskriptif maupun analitik.
Dalam cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Kayam menggunakan teknik penceritaan secara dialog yang hampir seluruhnya merupakan percakapan antar tokoh. Jane dengan kehidupan budaya baratnya dan Marno yang memiliki budaya asli Timur ini diracik Kayam menjadi sebuah cerita yang menarik. Kayam memberikan persepsi kehidupan dua tokoh tersebut yang sibuk dengan kehidupannya masing-masing namun dipertemukan dalam sebuah percakapan dialog multikultural. Sebuah teknik penceritaan yang luar biasa.
Dalam artikel ini penulis akan mencoba menganalisis cerpen Seribu Kunang-Kunag di Manhattan menurut unsure-unsur instrinsik yang terkandung di dalamnya.
2.      Analisis Alur
Dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Kayam membungkusnya dengan penataan alur dialog dengan halus, serta tertata. Dalam gambaran umum alur/plot yang digunakan Kayam adalah alur gerak (the action plot). Berikut pendeskripsian alur cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan :
a)      Pengantar
·         Jane dan Marno, sepasang lelaki dan perempuan yang duduk bersama dan saling bercakap di sebuah rumah. Mereka sama-sama sedang menenggak minuman alcohol.
·         Jane kemudian mulai membuka percakapan dengan menyatakan bahwa bulan yang terlihat di kamar mereka adalah berwarna ungu. Dan Marno menyanggahnya.
·         Kemudian Jane bercerita lagi tentang Alaska dan Jane mulai teringat pada bekas suaminya. Ia mengira Tommy, bekas suaminya ada di Alaska saat itu.
·         Jane mulai terbawa kerinduannya pada Tommy, bekas suaminya. Ia merasa di Alaska sana Tommy kedinginan dan merasa kesepian dan Jane khawatir.
·         Jane ingin bercerita pada Marno mengenai cerita Tommy yang mengirimkan sebuah boneka Indian yang cantik. Namun ceritanya tak selesai ketika Jane mengetahui bahwa cerita itu telah diceritakan kepada Marno
b)      Penampilan Masalah
·         Marno mulai teringat akan memoirnya pada kampung halaman, ia berimajinasi bahwa ada suara jangkrik dan katak yang menyanyi di luar kamarnya, Manhattan!!
·         Jane mulai merasa tidak nyaman dengan penceritaan Marno, ia berteriak kencang seolah memarahi Marno.
·         Jane mulai meracau kembali tentang Tommy, kali ini ia menceritakan ia pernah pergi bersama Tommy ke Central Park Zoo. Dan lagi-lagi cerita itu telah disampaikan kepada Marno.
·         Jane mulai menganggap dirinya membosankan, karena ceritanya telah semua disampaikan kepada Marno.
·         Marno mulai merasa istrinya ada di sampingnya saat itu.
·         Marno mulai berimajinasi bahwa ada kunangkunang di malam itu. Di luar kamarnya. Ia bercerita tentang kunang-kunang kepada Jane yang taktahu apa itu kunang-kunang.
·         Jane kemudian bercerita kembali, bahwa saat ioa masih kecil ia mempunyai sebuah mainan kekasih. dan alangkah senangnya ia saat mengetahui bahwa Marno belum mengetahui kisah yang diceritakannya itu.
c)      Konflik/Pengantar Konflik
·         Jane teringat pada piyama yang dibelikannya untuk Marno, dan dengan girangnya ia masuk kedalam kamarnya untuk mengambilkan piyama tersebut kepada Marno.
·         Jane menyuruh Marno untuk segera berganti pakaian dengan piyama tersebut.
·         Marno menolak memakai piyama itu, dan memilih untuk pulang. Jane kaget namun mencoba untuk mengerti apa yang dimaksudkan oleh Marno.
·         Marno kemudian bersiap meninggalkan Jane dan piyama itu, Jane berharap Marno akan segera meneleponnya.
·         Marno mencium dahi Jane, kemudian perlahan-lahan meninggalkannya di kamar itu.
·         Jane kemudian terlelap dan diceritakan bantalnya basah.
Dalam analisis tersebut diperlihatkan bahwa tidak adanya penyelesaian konflik atau bahkan konflik yang dimunculkan oleh Kayam dalam cerpen ini. Kayam hanya menempatkan pembaca pada sebuah situasi konflik atau pengantar konflik yang kurang jelas. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa pembaca dapat menafsirkan sendiri apa yang dikehendaki pembaca. Kayam tidak menyelesaikan cerita ini dengan resolusi yang jelas. Karena gayanya yang murni bercerita, maka “penulis” cenderung tidak tampak pada cerita ini. Cerita ini dapat menjadi multi tafsir karena pembacalah yang akan mengakhiri cerita ini.namun kayam memberikan pengantar pengaluran yang tertata secara rapi.
Menurut Habbiburahman El Shirazy (Akun Facebook) ia menyatakan bahwa alur dalam cerita ini adalah alur lembut. Yang artinya, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga terus mengiang di telinga pembaca.

3.      Analisis Tokoh dan Penokohan
Albertime Mendrop (2005:2) mengartikan penokohan sebagai karakterisasi yang berarti metode melukiskan watak para tokoh dalam suatu karya fiksi. Sedangkan tokoh adalah Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.
Dalam cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ada dua tokoh utama yang diceritakan oleh Kayam. Dan satu tokoh tambahan. Berikut analisisnya :
a)      Tokoh Utama
·         Marno berperan sebagai tokoh utama dalam cerita ini. Karena secara garis besar Marno yang mengendalikan cerita ini. Kayam membawa cerita ini kepada situasi Marno yang rindu akan kampong halamannya. Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.” (Seribu Kunang-Kunang di Manhattan : 2003). Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa sebenarnya Marno mengimajinasikan Manhattan sebagai kampong halamannya. Ia yang sedari tadinya rindu sekali akan kampong halamannya, dengan ditambah pengaruih alcohol Marno lebih menjadi dan mengimajinasikan kunang-kunang yang notabene adalah hewan tropis ada di Manhattan.
Karakteristik penokohan dari Marno dengan metode dramatic analisis. Yang mana penokohan dari Marno tidak dideskripsikan secara jelas oleh Kayam sebagai penulis. Namun dengan jalan menganalisa dari tingkah laku dramatic dari cerita tersebut. Dengan metode ini dapat diketahui bahwa Marno merupakan orang yang sabar, pendengar yang baik. “Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”“Lantas?” “Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit. ” “Kau anak desa yang sentimental!” “Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu
Dalam kutipan tersebut disiratkan bahwa Marno merupakan  pendengar yang baik, ia sabar menghadapi ocehan-ocehan Jane yang dianggap Marno membosankan. Dan juga diketahui bahwa Marno memiliki sifat teguh hati, dimana ia tetap berkata “Biar!” ketika Jane menganggap Marno orang desa yang sentimental.
·         Jane, dalam cerita ini merupakan tokoh utama disamping Marno. Pada awalnya Kayam mencoba mengutarakan siapa dan apa yang dipikirkan Jane kala itu. Namun, pada akhir cerita Kayam memfokuskan tokoh kepada Marno yang mulai menguasai jalan cerita.
Dengan metode analisa dramatic, Jane adalah tipikal orang yang cerewet, keras kepala, dan banyak berbicara. Juga gaya bicaranya yang sedikit menunjukan bahwa ia adalah kaum ningrat di negaranya. “Jet keparat!” Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno  mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es. Dapat dilihat bahwa struktur/budaya kebaratan yang ditunjukkan Kayam melalui tokoh Jane ini.

b)      Tokoh Pembantu
Dalam cerita ini ada tokoh Tommy, yang merupakan mantan suami Jane. Jane sempat beberapa kali menceritakan Tommy. Dengan metode analisis yang sama dapat diketahui bahwa Tommy merupakan pria yang baik, yang sesungguhnya Janepun masih menyayangi Tommy. “Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.” Dari kutipan tersebut diketahui bahwa sesungguhnya Jane sangat mengkhawatirkan Tommy yang Jane sendiri tidak tahu keberadaan dari Tommy.
Dari keseluruhan cerita ini, Kayam tidak menampilkan secara ekspositoris atau secara deskriptif watak/penokohan dari masing-masing tokoh. Ia menyisipkan watak tokoh dalam penggalan-p[enggalan kejadian dramatic dalam cerita tersebut.
4.      Analisis Latar
Latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannyadalam prosa fiksi (Nadjid, 2003:25). Menurut Nurgiyantoro (2004:227—233) Latar dapat dibagi menjadi Latar Tempat, waktu dan social
a)      Latar tempat
Dalam cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan latar tempat diceritakan ada pada sebuah rumah, yang mungkin tepatnya ada diatas atau lantai kedua. Dan rumah itu ada di sebiah kawasan di kota Manhattan, Amerika  Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.dari kutipan itu Marno mulai meninggalkan Jane di kamarnya melewati pintu dan kemudian turun tangga. Dapat dideskripsikan bahwa letak kamar Jane ada di atas dan percakapan itu berlangsung di kamar Jane.
b)      Latar Waktu
Malam, percakapan dari cerita ini ada saat bulan terlihat dari jendela kamr Jane. “Bulan itu ungu, Marno.”“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”. Bulan yang mendeskripsikan kejadian waktu dalam cerita ini. Percakapan antara Jane dan Marno terjadi saat malam, dimana bulan dapat dilihat dari jendela kamar Jane. Jane dan Marno kemudian melihat keluar jendela dan pengaruh alcohol membuat Jane menyatakan bahwa bulan itu berwarna ungu.


c)      Latar Sosial
Kayam ingin menceritakan suasana social orang kelas tinggi. Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela. Jane dengan segelas martini (cocktail) dan Marno dengan segelas scotch (whisky) yang merupakan minuman kelas tinggi. Yang meskipun situasi Amerika namun cocktail tidak sembarang orang dapat menikmatinya. Apalagi mereka minum kedua jenis minuman tersebut saat berada di rumah, bukan di café ataupun restoran yang menyediakan cocktail. Jelas bahwa Kayam ingin menampilkan sudut social kelas tinggi dengan budaya baratnya yang kental yang kemudian menjadi dasar dari keseluruhan unsure cerita ini.

5.      Analisis Tema
Tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar gagasan-gagasan utama dari suatu karya sastra (Tarigan , 1985:125). Seperti yang telah disinggung dalam pendahuluan diatas, banyak orang yang menganggap tema dari cerita Umar Kayam adalah bertemakan nonsense. Dengan didasari tidak adanya penceritaan yang jelas dan konflik yang tidak ada sama sekali. Namun kali ini penulis dapat menangkap bahwa tema yang hendak disampaikan oleh Kayam yang paling banyak adalah tema sosiologis. Artinya Kayam ingin menceritakan adanya persamaan dan perbedaan kebiasaan antara budaya barat dan budaya timur. Dalam artian lain tema multicultural. Namun Kayam tidak mengakhiri tema ini dengan jelas, atau sekurang-kurangnya dengan konflik yang jelas. Pembaca diarahkan untuk menilai, dan membawa cerita ini menuju kehendak pembaca. Sehingga cerita ini mnejadi multitafsir.
Persamaan kedua budaya ini dapat diceritakan dalam kisah Jane yang masih menyayangi mantan suaminya dan Marno yang rindu akan kampung halaman dan istrinya. Ini membuktian bahwa budaya barat dan timur mempunyai kesamaan dalam hal kasih sayang, keduanya merasakan hal yang sama maupun dalam kondisi budaya dan keadaan social yang berbeda. Perbedaan ditunjukkan Kayam dalam situasi dimana Marno lebih memilih untuk pulang daripad tidur bersama dengan Jane. Mungkin karena ia ingin segera mengakhiri perselingkuhan itu dan kembali kepada istrinya. Hal ini menunjukkan identitas budaya timur yang lebih menghargai perkawinan.
Dalam cerpen-cerpennya Kayam lebih banyak menggambarkan unsur-unsur budaya. Terutama budaya barat yang Kayam sendiri mengalaminya saat menempuh pendidikan di Amerika Serikat dan budaya timur yang merupakan budaya aslinya. Ini juga bersinggungan langsung dengan latar belakang Kayam yang merupakan seorang budayawan. Dalam cerpennya yang lain Istriku, Madam Schlitz dan Sang Raksasa Kayam menampilkan sisi kehidupan bertetangga di Amerika. Dan sekali lagi Kayam tidak menampilkan konflik yang jelas di cerpen tersebut.
Jika menganggap bahwa cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan adlaah nonsense, maka penulis mengaitkan kembali pada gaya kepenulisan Kayam yang telah diutarakan tadi. Dengan gaya yang lebih mengarahkan pembaca untuk mengetahui dan berimajinasi langsung tanpa pendeskripsian yang jelas mengenai kejadian-kejadian antar tokoh. Sehingga cerpen Kayam tidak bisa di baca secara sekali agar pembaca langsung dapat memaknai cerita tersebut, melainkan harus dibaca berulang-ulang agar dapat menangkap apa maksud Kayam mengenai pesan yang ingin disampaikannya. Sehingga dapat ditemukan tema, makna dan nilai dari cerita Kayam.
6.      Analisis Tipe
Rusyana (1979:162) membagi tipe kedalam 4 bentuk :
·         Tipe Sosial
·         Tipe Sejarah
·         Tipe kerohanian, dan
·         Tipe lainnya
Berdasar pada analisis yang telah dibahas, dapat dikatakan bahwa tipe dari cerpen ini a     dalah tipe social. Kayam ingin mengangkat nilai multicultural dalam cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Dengan pendekatan social yang tersirat, Kayam telah berhasil memberikan sentuhan corak budaya pada cerpennya. Dengan gaya percakapan, ia membangun budaya dengan alur-alur yang ditampilkannya. Namun penjelasan tentang budaya dari masing-masing tokoh tidak dijelaskan secara terperinci, hanya menampilkan dari sudut social kehidupan sehari-hari saja. Itupun dengan pendeskripsian yang sangat minim.
Kayam berusaha agar cerita yang dibuatnya tidak menjurus pada suatu nilai social yang menyalahkan suatu budaya social masyarakat. Misalnya barat dengan gaya hedonisme-nya dan timur dengan budaya ramahnya. Kayam tidak menjudgetifikasi budaya mana yang lebih baik dari keduanya. Kayam hanya ingin menampilkan budaya tersebut kepada pembaca, tanpa harus di akhiri. Dan sekali lagi, pembaca-lah yang dituntut dapat mengakhiri dari cerita ini.
7.      Analisis Nilai
Dilihat dari pendekatan struktur, nilai sastra dari cerpen ini tergolong baik pada zamannya. Gaya bercerita pada angkatan ini (angkatan 50’) sangatlah berbeda dengan angkatan sebelumnya. Yaitu gaya yang bercerita murni, tanpa menyisipkan pendapat, pandangan dan sikap pengarang. Pengarang cenderung “hilang” dalam karyanya. Pada angkatan ini semangat dekolonialisasi tampak jelas pada karyanya. Seolah ingin menunjukkan “siapa aku” dalam karya-karyanya. Dan tampak sekali dalam karya-karya Umar Kayam.
Karena gaya bercerita yang khas, karya Kayam tidak memiliki satu arti saja jika dibaca. Akan timbul arti-arti baru pada setiap pembaca yang mencoba menafsirkan apa maksud dari Kayam.  Ia sekadar mengarahkan pembaca pada suasana dan situasi tertentu kepada pembaca sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri unsure tematik dari ceritanya. Sejumlah tema bisa muncul tergantung dari horizon setiap pembacanya. Bahkan muncul tema nonsense seperti yang disinggung diatas. Hal inilah yang menjadi daya tarik karya-karya Kayam. Multitafsir.
Kayam memberikan sebuah genre baru dalam prosa, yaitu Cerpen Suasana. Dimana ia mampu menenggelamkan imajinasi pembaca kepada suasana tertentu di dalam ceritanya. Unsure indrawi, kepekaan, dan kemampuan menangkap hal-hal yang sangat detil diperlukan untuk membuat cerita layaknya Kayam. Sungguh luar biasa,
Jika ditilik dari metode pendekatan fungsi, cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini bernilai kemasyarakatan. Sosial dan budaya sangat kental dalam cerpen Kayam. Jika lebih dispesifikasi lagi, Kayam menampilakn sisi social yang dianggap remeh-temeh, seperti kehidupan perselingkuhan, bertetangga, dll. Ini menunjukkan bahwa Kayam merupakan seorang observator, partikularis dan seorang yang berjiwa social tinggi. Kayam juga ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang ilmuwan.
8.      Analisis Fungsi
Fungsi dalam cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan memberikan pesan kehidupan berumah-tangga yang baik. Kayam mencoba menggambarkan kasih sayang yang murnio, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Baik kepada sesama manusia maupun kepada alam. Juga Kayam ingin menampilkan kesetiaan yang seharusnya antar sesame manusia.
Fungsi sastra yaitu dulce et utile, juga dipesankan dalam cerpen ini. Fungsi dulce atau menghibur, pembaca dapat mengimajinasikan suasana malam di Manhattan bersama segelas scotch atau martini. Memandang bulan yang ungu ditemani obrolan-obrolan ringan dari kedua tokoh tersebut. Fungsi utile-pun tidak tertinggal disisipkan Kayam dalam cerpennya. Fungsi mendidik/berguna telah dijabarkan dalam analisis fungsi diatas.
9.      Pengalaman
Pembaca dapat menginajinasikan langsung apa yang terjadi dalam karya tersebut melalui suasana yang terbentuk oleh imajinasi pengarang. Begitulah kira-kira kalimat yang menjelaskan gaya cerpen suasana Umar Kayam. Pembaca dituntut untuk mengimajinasikan langsung, tanpa bantuan deskriptif dari pengarang untuk merasakan pengalaman batin dari cerpen ini. Pengarang hanya mengarahkan agar pembaca dapat memasukki ruang imajinasinya dan segera menyimpulkan apa yang dimaksud oleh pengarang. Hal ini yang membuat Cerpen Suasana memiliki daya imajinatif dan pengalaman yang tinggi.
10.  Kesimpulan
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, sebuah cerpen Umar kayam yang memiliki nilai sastra tinggi terhadap unsure social masyarakat . umar Kayam telah berhasil membawa pembaca kedalam horizon-horison imajinatif dan simpulan yang menghasilkan bermacam pendapat tematik yan dihasilkan. Pembaca dituntut menjadi pengarang kedua untuk merumuskan ending dari sebuah cerita. Kayam mengarahkan pembaca menjadi orang pintar dan berfungsi edukatif dalam setiap karyanya. Sungguh merupakan karya filsuf yang luar biasa.
11.  Referensi
Aminudin, 2004. Pengantar Apresiasi Sastra . Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Kayam, Umar. 1972. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, hlm 7 dan 8, Jakarta : Pustaka Jaya
Luthfi, Anas . 2006 . ILMU DAN SENI, SEBENTUK EKLEKTISISME, (OnLine).   tersedia : http://anasluthfi.blogspot.com/2006/03/umar-kayam-ilmu-dan-seni-sebentuk.html, diakses 27 Maret
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta : Gadjah Mada Press.2011
Rojaki . 2006. Mengakrabkan SIswa dengan Karya Sastra (Cerpen), (Online) tersedia : http://rozakismanda.wordpress.com/2010/02/19/aartikel-sastra/, diakses 27 Maret 2011
Supriyadi, Heru. 2006 . Analisis Tokoh dan Penokohan dalam cerpen Ave Maria, (Online) tersedia : http://goesprih.blogspot.com/2009/08/analisis-tokoh-dan-penokohan-cerpen-ave.html, diakses 27 Maret 2011.
Wellek, Rene & Austin Werren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Sehimpun Sajak Lama

MENULIS


Di serambi langit
di selasar hatimu
aku menggurat :
waktu dan kata

Cimahi, 2011

Di Kaki Malam yang Masygul

Ada yang selalu beringsut laun
Menganyam setiap kuning, hitam trotoar
Di pipinya terbias anggrek-anggrek
yang merekah. Telinganya tak henti mendengar
lenguh nyamuk atau desah angin
Di tangannya tergenggam belati,
siap mencabik hasrat lelaki
ia menyingkap peluh di dahinya, peluh bersimbah harap
agar dia yang tertidur di rumah, terisi perutnya pagi nanti.

Ada yang selalu tergesa
Dengan semua hasrat yang menggunung
di sela-sela selangkangannya
Seakan akrab dengan hawa malam yang berjelaga
Seakan tak takut maut menjemput
Dia terus menuai padi kuning, tubuhnya menggelinjang hebat
Lalu sejengkal malam terkubur

Sang malam yang bisu menangis bersamaku
Berbagi cerita dihadapan seonggok mayatku yang kaku
: aku tak mampu menuntunnya
Malam memang tak terlalu teduh
Untuk mereka yang berpikir
malam bukanlah pemalaman

2011

Kembara di Taman Partere

I. Bangku
Seperti cemara angin, atau beringin
engkau sujud jumud dalam kidung ingin
dalam buah terka orang yang menjamahimu.
Layak Dursilawati kau berhasil membujuk langkah
seorang kembara ini dengan wajahmu yang liar datar
kau selalu menunggu, dalam sengat mentari,
ataupun hujan yang menzarah

Mereka yang datang, sertamerta bercerita
tentang sungsangnya jalan
atau rumpangnya dedaunan
lalu mereka pergi, hanya mendesiskan
riuh kesah mereka
tanpa sisa air liur setetespun.

II.Tangga
Dimulai dari langit yang berjelaga, kau mengental
dalam kelamnya awal
Kau tengadah pongah ketika noktah merah
di langit berhasil kau renggut

engkau tergelak, tak mau menengok
gelas kopi yang kosong
atau puntung rokok yang menggantung
di lehermu, di badanmu, di pusarmu.
Mereka :
deru cemara angin, bisu bangku, dan
segenap kembara di taman Partere
tak mampu terlalu jauh mendongak
ke arah wajahmu

Sungguh, dalam kilau mata parang
Aku melihat mautmu

Partere Sore Itu

Adakah waktu yang menyesatkanmu
hingga derap kakimu
enggan berdecit di jalan basah ini?
angin berhembus luka dan pedih
dan sebentang jarak
telah terhampar
antara kedua kita

Di simpang jalan,
Sosok yang likat, yang nampak
antara luapnya kolam
dan rikat dedaunan
terlihat
cermin-cermin masih menolak pecah
dan menggenang di kedua matamu.

2011

Jika Dia Bercerita


Julang tingginya akan berteriak
Bagaimana sesuatu yang besar akan menyisakan
tandatanya
lalu dibiarkannya mengembang
hingga mengencang dan menutupi ruang dirinya sendiri

kerut dindingnya akan bersuara
Bagaimana buih waktu selalu berbicara
Tentang bagaimana padi menjadi nasi
Atau likatnya rindu berubah nafsu
Saling melingkar di ujungujung kaki mereka
Lalu menyeret, masuk
Terperangkap dalam :
maut

2011



HONG

 

Hong, Hong
Hong bumi, Hong langit
Aku, semesta bersujud padamu
Hong, takkah kau lelap?
Menjaga  lembah-lembah jiwa
Dari panasnya geni naar-Mu
Dari fananya detak sisa-sisa jarak

Hong, Hong
Hong bumi, Hong langit
Aku, Takbir siang dan malam menjemputmu
Beri  aku kaki, beri aku indera
Melewati  setapak ngarai terjal
Mengeja deru badai-Mu yang kian rundung
Dalam setiap petikan ajal yang kian mendekat

Hong,Hong
Hong Bumi, Hong Langit
Aku, gelap yang terus mendulang senja yang mulai menguning

11-1-2011


Suara Biru
 deru derau nafas memburu
sedu sengau suara yang biru
    haru biru yang baru
       aku dan kau
      membujur
      mengkaku
       aduh

       benar
apa yang kubilang terbilang
        sudah
          ow  dan sekarang
         langit runtuh jatuh
       aku dan kau
         melebur dan kabur
        serupa debu
         hancur
           fuh

24 September 2010


Cerita rumput dan Didin

Din, apalagi yang kau khawatirkan
Selama rumput di padang itu masih bergoyang
Menggetarkan kembali jalamu yang semakin rapuh
Selama tiang-tiang itu terus berteriak
Bercerita bahwa dirmu sanggup tegakkan mereka
                                                                kembali bersiul

Din, rindumu jangan dibuat arang
Selama putih dan hitam masih bergulir
Melukis langitan mega muram senja yang panjang itu
Selama udara belum menyublim
Mengerakkan kabut dan pelangit di barat
                                                               Kembali berlari

Din, ingatlah
Kata masih mengajakmu berlari
Walau kau menapak dengan satu kaki
Sarangkan bola itu di jalanya
Siangkan wajahmu di Koran pagi

Cimahi, Januari 2011


Mentari

I : Pagi
Terseok-seok terikmu mengintip di celah daun, aku yang berkutat dengan mulutku dan asap yang bergaun
Terikmu yang riang menarikan harap, dalam dingin pagi yang riakkan pelupuk mata dan tatap.
Kilaumu yang sibakkan mendung
Menghapus langitan jingga pagi ini
indah

II ; Siang
Kau pukul ubunku dengan wajahmu, menjaga nyala panas besi semakin berkobar namun membisu
Rupanya kau mulai menusukku dari belakang, dalam sebuah tubuh dan pose-pose yang terkekang
Kau rusak memoirku, kuras semua peluh yang duluya sebuah canda
Kukecup sekali lagi bibirmu namun kau menyelipakan sebilah pisau darinya
Apalah

III. : Senja
Matamu mulai meredup, indah sekali melihat dirimu menjadi siluet yang bersujud-sujud seraya mengetuk
Sayangnya dirimu telah tenggelam dalam pelupukku, cahaya yang kau lepas menyibakkan ombak abu-abu di mataku
Gantilah dengan rembulan, hadirkan cinta seterang purnama
Yang lebih lembut, setia mengalun dalam helaan usia
Meluap berkah


IV : Malam
Matamu yang bulat merah itu malu tampakkan dirinya dihadapanku, aku tersenyum dan hanya berlalu pergi menjauh.
Namun gelap itu akan berganti dengan temaram lainnya, aku hanya berkata padaNya agar kau pergi ke Uterus tuk temui diriku yang serupa
Pagi dia hangat, siang dia panas, dan senja dia redup
Hingga malam dia melompat-lompat ke pusara, muram tak kentara
Datanglah esok pagi, kita ulang narasi hari ini
Sudahlah


Cimahi, 30-Januari 2011



KUDUS

ketika batas siang sang alam tak terperi
senada teras terang sang buram kembali menjadi
aku sangsikan padaMu
Kau
      kau
            ku-Kau 
kembali
Kau 
      kau
            ku-Kaudus

Jl. Jakarta 


Secarik Surat untuk May
                                : May
May, 3 jam aku berlompatan di matamu
Kubawakan padamu, 2 batang ranting
Yang jatuh diterpa angin
Dan sebuah lukisan padang gersang
                                        : Sedikit nisbi
aku tahu akhirnya kini kau berhasil
Mencampurkan secangkir kopi
                                      dan malam

May, aku rindu
Ketika kita duduk besama di sebuah rakit
Mendayuh di tengah danau
Hingga entah kemana
Sejenak, kedua mata kita
Kembali bercinta

Tak lupa, sebelum ku pulang
Ku usap dahulu rambutmu May
Akupun pergi, dengan secarik surat
Untuk malam dan lampu jalan

Benar May
Kamus mana yang mampu terka
Dalamnya kelopak matamu

Bandung, 2011



Sepertiga Malam

Melepuhlah sudah,
Dahiku ini
Mengepul putih bak kabut
Mengalirah sungai
Dari pelipis menuju janggut

Gusti, biarkan aku melacur pada-Mu

Bandung, 2011




Pohaci
: Si Nada C. Mutia

Pohaci, Pohaci
Menanam sepi dalam sanubari

Aku mencoba menanam tunas kelapa di jengkal kulitmu
Dalam setiap jejakmu, di setiap detik waktu
Tapi seluruh celah tubuhmu
Telah lebat oleh anyelir
Dari sosok bayang dan sukma lain
Akupun tergeletak pasi
Dengan segenggam benih muda di tangan
Kugenggam tak ku lepas
Meski dalam badai yang melarung
Dalam riuh yang membusung
Tetap kutunggu : Waktu

Pohaci, Pohaci
Kau layak si kejut
Tersentuh, daun mengatup

Aku tahu benihku terlalu muda ‘tuk ditanam
Benihku ini bukan mawar, anggrek violet
atau bunga sepatu
yang indah hanya saat merekah
benihku ini tak urung mekar
namun menyerap sari bunga dalam dirinya
dan karenanya, senantiasa  menjaga aroma langit
hingga harumnya sampai ke sisa nadir

Pohaci, Pohaci
Turunlah dari langit
Raihlah benih ini, tanam di dadamu
‘Kan kita rawat bersama
Menyiangi, menyirami
Hingga tumbuh besar
Dan melahirkan banyak lagi
lalu akhirnya mati dan layu
Bersama jasad-jasad kita
Terkubur dalam terik mentari


Pohaci, Pohaci
Hingga akhirnya mati dan layu
Bersama jasad-jasad kita
Terkubur dalam terik mentari
Aku tetap mencintaimu tanpa tahu bagaimana
Kapan, darimana atau entah kenapa
Hingga akhirnya kita tiada
Dan menyatu dalam satuan waktu
Dengan erat, begitu erat
Hingga kau tertidur, kelopak mataku lah yang tertutup

Cimahi, 2011




TPU Sirnaraga

Lewatlah,
Niscaya
kau temu kota
Sesungguhnya

Bandung, 2011
Antono Wiyono