MENULIS
Di serambi langit
di selasar hatimu
aku menggurat :
waktu dan kata
Cimahi, 2011
Di Kaki Malam yang Masygul
Ada yang selalu beringsut laun
Menganyam setiap kuning, hitam trotoar
Di pipinya terbias anggrek-anggrek
yang merekah. Telinganya tak henti mendengar
lenguh nyamuk atau desah angin
Di tangannya tergenggam belati,
siap mencabik hasrat lelaki
ia menyingkap peluh di dahinya, peluh bersimbah harap
agar dia yang tertidur di rumah, terisi perutnya pagi nanti.
Ada yang selalu tergesa
Dengan semua hasrat yang menggunung
di sela-sela selangkangannya
Seakan akrab dengan hawa malam yang berjelaga
Seakan tak takut maut menjemput
Dia terus menuai padi kuning, tubuhnya menggelinjang hebat
Lalu sejengkal malam terkubur
Sang malam yang bisu menangis bersamaku
Berbagi cerita dihadapan seonggok mayatku yang kaku
: aku tak mampu menuntunnya
Malam memang tak terlalu teduh
Untuk mereka yang berpikir
malam bukanlah pemalaman
2011
Kembara di Taman Partere
I. Bangku
Seperti cemara angin, atau beringin
engkau sujud jumud dalam kidung ingin
dalam buah terka orang yang menjamahimu.
Layak Dursilawati kau berhasil membujuk langkah
seorang kembara ini dengan wajahmu yang liar datar
kau selalu menunggu, dalam sengat mentari,
ataupun hujan yang menzarah
Mereka yang datang, sertamerta bercerita
tentang sungsangnya jalan
atau rumpangnya dedaunan
lalu mereka pergi, hanya mendesiskan
riuh kesah mereka
tanpa sisa air liur setetespun.
II.Tangga
Dimulai dari langit yang berjelaga, kau mengental
dalam kelamnya awal
Kau tengadah pongah ketika noktah merah
di langit berhasil kau renggut
engkau tergelak, tak mau menengok
gelas kopi yang kosong
atau puntung rokok yang menggantung
di lehermu, di badanmu, di pusarmu.
Mereka :
deru cemara angin, bisu bangku, dan
segenap kembara di taman Partere
tak mampu terlalu jauh mendongak
ke arah wajahmu
Sungguh, dalam kilau mata parang
Aku melihat mautmu
Partere Sore Itu
Adakah waktu yang menyesatkanmu
hingga derap kakimu
enggan berdecit di jalan basah ini?
angin berhembus luka dan pedih
dan sebentang jarak
telah terhampar
antara kedua kita
Di simpang jalan,
Sosok yang likat, yang nampak
antara luapnya kolam
dan rikat dedaunan
terlihat
cermin-cermin masih menolak pecah
dan menggenang di kedua matamu.
2011
Jika Dia Bercerita
Julang tingginya akan berteriak
Bagaimana sesuatu yang besar akan menyisakan
tandatanya
lalu dibiarkannya mengembang
hingga mengencang dan menutupi ruang dirinya sendiri
kerut dindingnya akan bersuara
Bagaimana buih waktu selalu berbicara
Tentang bagaimana padi menjadi nasi
Atau likatnya rindu berubah nafsu
Saling melingkar di ujungujung kaki mereka
Lalu menyeret, masuk
Terperangkap dalam :
maut
2011
HONG
Hong, Hong
Hong bumi, Hong langit
Aku, semesta bersujud padamu
Hong, takkah kau lelap?
Menjaga lembah-lembah jiwa
Dari panasnya geni naar-Mu
Dari fananya detak sisa-sisa jarak
Hong, Hong
Hong bumi, Hong langit
Aku, Takbir siang dan malam menjemputmu
Beri aku kaki, beri aku indera
Melewati setapak ngarai terjal
Mengeja deru badai-Mu yang kian rundung
Dalam setiap petikan ajal yang kian mendekat
Hong,Hong
Hong Bumi, Hong Langit
Aku, gelap yang terus mendulang senja yang mulai menguning
11-1-2011
Suara Biru
deru derau nafas memburu
sedu sengau suara yang biru
haru biru yang baru
aku dan kau
membujur
mengkaku
aduh
benar
apa yang kubilang terbilang
sudah
ow dan sekarang
langit runtuh jatuh
aku dan kau
melebur dan kabur
serupa debu
hancur
fuh
24 September 2010
Cerita rumput dan Didin
Din, apalagi yang kau khawatirkan
Selama rumput di padang itu masih bergoyang
Menggetarkan kembali jalamu yang semakin rapuh
Selama tiang-tiang itu terus berteriak
Bercerita bahwa dirmu sanggup tegakkan mereka
kembali bersiul
Din, rindumu jangan dibuat arang
Selama putih dan hitam masih bergulir
Melukis langitan mega muram senja yang panjang itu
Selama udara belum menyublim
Mengerakkan kabut dan pelangit di barat
Kembali berlari
Din, ingatlah
Kata masih mengajakmu berlari
Walau kau menapak dengan satu kaki
Sarangkan bola itu di jalanya
Siangkan wajahmu di Koran pagi
Cimahi, Januari 2011
Mentari
I : Pagi
Terseok-seok terikmu mengintip di celah daun, aku yang berkutat dengan mulutku dan asap yang bergaun
Terikmu yang riang menarikan harap, dalam dingin pagi yang riakkan pelupuk mata dan tatap.
Kilaumu yang sibakkan mendung
Menghapus langitan jingga pagi ini
indah
II ; Siang
Kau pukul ubunku dengan wajahmu, menjaga nyala panas besi semakin berkobar namun membisu
Rupanya kau mulai menusukku dari belakang, dalam sebuah tubuh dan pose-pose yang terkekang
Kau rusak memoirku, kuras semua peluh yang duluya sebuah canda
Kukecup sekali lagi bibirmu namun kau menyelipakan sebilah pisau darinya
Apalah
III. : Senja
Matamu mulai meredup, indah sekali melihat dirimu menjadi siluet yang bersujud-sujud seraya mengetuk
Sayangnya dirimu telah tenggelam dalam pelupukku, cahaya yang kau lepas menyibakkan ombak abu-abu di mataku
Gantilah dengan rembulan, hadirkan cinta seterang purnama
Yang lebih lembut, setia mengalun dalam helaan usia
Meluap berkah
IV : Malam
Matamu yang bulat merah itu malu tampakkan dirinya dihadapanku, aku tersenyum dan hanya berlalu pergi menjauh.
Namun gelap itu akan berganti dengan temaram lainnya, aku hanya berkata padaNya agar kau pergi ke Uterus tuk temui diriku yang serupa
Pagi dia hangat, siang dia panas, dan senja dia redup
Hingga malam dia melompat-lompat ke pusara, muram tak kentara
Datanglah esok pagi, kita ulang narasi hari ini
Sudahlah
Cimahi, 30-Januari 2011
KUDUS
ketika batas siang sang alam tak terperi
senada teras terang sang buram kembali menjadi
aku sangsikan padaMu
Kau
kau
ku-Kau
kembali
Kau
kau
ku-Kaudus
Jl. Jakarta
Secarik Surat untuk May
: May
May, 3 jam aku berlompatan di matamu
Kubawakan padamu, 2 batang ranting
Yang jatuh diterpa angin
Dan sebuah lukisan padang gersang
: Sedikit nisbi
aku tahu akhirnya kini kau berhasil
Mencampurkan secangkir kopi
dan malam
May, aku rindu
Ketika kita duduk besama di sebuah rakit
Mendayuh di tengah danau
Hingga entah kemana
Sejenak, kedua mata kita
Kembali bercinta
Tak lupa, sebelum ku pulang
Ku usap dahulu rambutmu May
Akupun pergi, dengan secarik surat
Untuk malam dan lampu jalan
Benar May
Kamus mana yang mampu terka
Dalamnya kelopak matamu
Bandung, 2011
Sepertiga Malam
Melepuhlah sudah,
Dahiku ini
Mengepul putih bak kabut
Mengalirah sungai
Dari pelipis menuju janggut
Gusti, biarkan aku melacur pada-Mu
Bandung, 2011
Pohaci
: Si Nada C. Mutia
Pohaci, Pohaci
Menanam sepi dalam sanubari
Aku mencoba menanam tunas kelapa di jengkal kulitmu
Dalam setiap jejakmu, di setiap detik waktu
Tapi seluruh celah tubuhmu
Telah lebat oleh anyelir
Dari sosok bayang dan sukma lain
Akupun tergeletak pasi
Dengan segenggam benih muda di tangan
Kugenggam tak ku lepas
Meski dalam badai yang melarung
Dalam riuh yang membusung
Tetap kutunggu : Waktu
Pohaci, Pohaci
Kau layak si kejut
Tersentuh, daun mengatup
Aku tahu benihku terlalu muda ‘tuk ditanam
Benihku ini bukan mawar, anggrek violet
atau bunga sepatu
yang indah hanya saat merekah
benihku ini tak urung mekar
namun menyerap sari bunga dalam dirinya
dan karenanya, senantiasa menjaga aroma langit
hingga harumnya sampai ke sisa nadir
Pohaci, Pohaci
Turunlah dari langit
Raihlah benih ini, tanam di dadamu
‘Kan kita rawat bersama
Menyiangi, menyirami
Hingga tumbuh besar
Dan melahirkan banyak lagi
lalu akhirnya mati dan layu
Bersama jasad-jasad kita
Terkubur dalam terik mentari
Pohaci, Pohaci
Hingga akhirnya mati dan layu
Bersama jasad-jasad kita
Terkubur dalam terik mentari
Aku tetap mencintaimu tanpa tahu bagaimana
Kapan, darimana atau entah kenapa
Hingga akhirnya kita tiada
Dan menyatu dalam satuan waktu
Dengan erat, begitu erat
Hingga kau tertidur, kelopak mataku lah yang tertutup
Cimahi, 2011
TPU Sirnaraga
Lewatlah,
Niscaya
kau temu kota
Sesungguhnya
Bandung, 2011
Antono Wiyono
The Casino & Resort in Reno
BalasHapusThe Casino & Resort is home to 양주 출장안마 the AAA Four Diamond 삼척 출장안마 Award-winning casino 수원 출장샵 resort, the largest gaming, dining, shopping and 사천 출장마사지 entertainment 태백 출장샵 destination in Reno, Rating: 3.5 · 844 reviews